Kerja di rumah
Home » » Waspadai Gejalanya, Pengaruh kekerasan Televisi Pada Anak « KORAN ...

Waspadai Gejalanya, Pengaruh kekerasan Televisi Pada Anak « KORAN ...

Waspadai Gejalanya, Pengaruh kekerasan Televisi Pada Anak

Televisi merupakan sarana kcmunikasi ubma di sebagian be~ar masyarakat kita, tidak terkecuali di masyarakat barat. Tidak ada media lain yang dapat menandingin televisi dalam hal volume teks budaya pop yang diproduksinya dan banyaknya penonton. Tayangan Televisi harus di atu karena mempengaruhi sikap dan perilaku khalayak khususnya bagi yang belum memiliki referensi yang kuat, yakni anak-anak dan remaja. Terlebih karena televisi bersifat audio visual sinematografs yang memiliki dampak besar terhadap perilaku khalayaknya seperti penganuh jarum suntik terhadap manusia. Tayangan-tayangan di televisi saat ini mempunyai kecendrungan mengabaikan ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan. Hal ini terlihat dari ditonjolkannya eksploitasi sex kekerasan, budaya konsumerisne dan hedonisme. Bahkan pada masa remaja normar semakin banyak kekerasan yang mereka lihat, semakin berkukrang aktifitas berfikir, belajar, melakukan pertimbangan, dan kontrol emosi pada otak. Pada sisi lain, berbagai bentuk byangan yang memuat adegan kekerasan seks dan tema dewasa lainnya akan terus bertambah intensitasnya. Melalui tayangan-tayangan acara yang dibuat, tdevisi dinilai dapat menggiring publik untuk berada dalam posisi menerima semua sensasi mimpi dalam dunia sinetron, kekerasan, dan erotisme yang menjadi tagian tak terpisahkan dari kehidupan.

Pesawat televisi yang dimiliki oleh setiap insan individu yang ada di Indonesia membuat kita prihatin terhadap tayangan yang disiarkan oleh stasiun televisi tersebut. Sekarang ada belasan stasiun televisi yang ada di Indonesia, tinggal Anda sendiri yang harus pintar memilih acara apa saja yang berguna dan acara apa saja yang tidak berguna.

Racun-racun pada pesawat televisi hampir setiap hari merasuki otak setiap individu, baik orang dewasa maupun anak-anak yang mengakibatkan bencana otak dalam perilaku dan pemikiran setiap orang tersebut karena disuguhi oleh informasi-informasi yang negatif terus-menerus. Apalagi bila kita melihat dan menonton acara-acara televisi yang kurang bermutu seperti kekerasan, mistik, kemewahan, keserakahan, kediktatoran, dan lain sebagainya.

anaknya yang berumur delapan tahun melemparkan gelas dan piring. Apalagi tidak ada masalah dalam diri anaknya. Bahkan hal itu dilakukannya sambil tertawa senang. Ketika ditanya, anaknya dengan enteng menjawab, “Kayak Joshua di televisi.” Yang dimaksud adalah ulah Joshua dalam sinetron Anak Ajaib.

Kasus anak Ny. Lita itu memunculkan kembali silang pendapat, benarkah tayangan televisi berpengaruh terhadap perilaku anak? Dalam lingkup yang lebih kecil, apakah tayangan kekerasan di televisi (juga game kekerasan) bisa memicu kebrutalan anak di kemudian hari? Masih ingat dengan kasus Eric Harris (18) dan Dylan Klebold (17), dua pelajar Columbine High School di Littleton Colorado, Amerika, yang menewaskan 11 rekannya dan seorang guru pada 20 April 1999? Dari keterangan temannya diperoleh, Dylan Klebold bisa berjam-jam main game yang tergolong penuh kekerasan seperti Doom, Quake, dan Redneck Rampage.

Sungguh sulit menjawab pertanyaan itu. Melihat jawaban anak Ny. Lita, jelas tayangan di televisi mempengaruhi perilakunya. “Tapi, itu ‘kan hanya meniru?” kata Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis, pengajar di Fakultas Psikologi UI sambil menambahkan, fase anak-anak memang fase meniru. Tak heran bila anak-anak sering disebut imitator ulung. Lain persoalannya jika lemparannya ditujukan ke orang.

Ihwal kasus Harris dan Klebold, para peneliti berpendapat, video game menawarkan agresi lebih kuat pada anak-anak dibandingkan tontonan di TV, karena jauh lebih hidup dan bersifat interaktif. Bukan sekadar observasi seperti TV.

Pendapat Fawzia mendukung pernyataan itu, “Main game itu intens. Di sana ada target, entah menjatuhkan atau mematikan lawan. Jika (dilakukan) bertahun-tahun, tayangan itu bisa menjadi rangsangan untuk berbuat.”

Apalagi analisis lanjutan menemukan, rasa minder Klebold dan Harris terhadap rekan-rekan yang berprestasi di bidang atletik mendorong mereka untuk menunjukkan kejantanan dengan bermain senjata.

Apa yang menarik anak?

Yang menjadi masalah, mengapa kekerasan menjadi menu pilihan yang ditayangkan di TV? Tak bisa dipungkiri, persaingan penyelenggara siaran di layar kaca dalam memperebutkan kue iklan yang makin terbatas sangatlah ketat. Demikian pula dengan pengiklanan suatu mata acara. Dengan durasi terbatas, kail yang dilemparkan ke pemirsa harus bisa menohok langsung ke benak.

Kalau rajin memperhatikan iklan cuplikan tayangan film, tentu unsur seks dan kekerasan itu besar porsinya. Apalagi dalam film laga yang memang menjual seputar kekerasan. Ambil contoh sinetron seri Jacklyn. Kekerasan digunakan dalam berbagai cara dalam promosi sebagai pengait untuk menarik pemirsa agar menonton program itu.

Seorang psikolog sosial mengamati, jenis film-film laga kepahlawanan (hero) selalu menarik perhatian dan disenangi anak-anak, termasuk balita, sehingga mereka tahan berjam-jam duduk di depan layar kaca. Diduga, selain menghibur, yang terutama bikin “kecanduan” ialah unsur thrill, suasana tegang saat menunggu adegan apa yang bakal terjadi kemudian. Tanpa itu, film cenderung datar dan membosankan.

Kekerasan yang ditayangkan di TV tak hanya muncul dalam film kartun, film lepas, serial, dan sinetron. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua berita, khususnya berita kriminal. TV swasta di Indonesia terkadang lebih “kejam” dalam menggambarkan korban kekerasan, misalnya dengan ceceran darah atau meng-close up korban.

Jadi, orang tua jangan terkecoh dengan hanya menyensor adegan seksual, misalnya ciuman. Adegan kekerasan, mulai tembakan, tamparan pipi, jerit dan teriakan, darah, gebuk-gebukan perlu juga disensor.

Jadi agresor dan tak pedulian

Di Indonesia belum ada penelitian mengenai pengaruh tayangan kekerasan terhadap perilaku anak. Ini tentu membuat semakin sulit untuk mengatakan bahwa tayangan televisi berpengaruh terhadap perilaku anak. Sementara, meski masih simpang siur, peneliti di luar sudah menyimpulkan ada korelasi â€" untuk tidak menyebut penyebab â€" antara tayangan kekerasan dengan perilaku anak. Sebuah survai pernah dilakukan Christian Science Monitor (CSM) tahun 1996 terhadap 1.209 orang tua yang memiliki anak umur 2 â€" 17 tahun. Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV mempengaruhi anak, 56% responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26% mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi, dan 11% tidak mempengaruhi.

Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington memperkuat survai itu. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan yang berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan). Fokus penelitian adalah orang kulit putih. Hasilnya, di Kanada dan Amerika tingkat pembunuhan di antara penduduk kulit putih naik hampir 100%. Dalam kurun waktu yang sama, kepemilikan TV meningkat dengan perbandingan yang sejajar. Di Afrika Selatan, siaran TV baru diizinkan tahun 1975. Penelitian Centerwall dari 1975 â€" 1983 menunjukkan, tingkat pembunuhan di antara kulit putih meningkat 130%. Padahal antara 1945 â€" 1974, tingkat pembunuhan justru menurun (Kompas, 20-3-1995).

Centerwall kemudian menjelaskan, TV tidak langsung berdampak pada orang-orang dewasa pelaku pembunuhan, tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada si pelaku sejak mereka masih anak-anak. Dengan begitu ada tiga tahap kekerasan yang terekam dalam penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-anak, beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan pada tahun-tahun akhir penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti yakni kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa.

Penemuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lembaga Kesehatan Mental Nasional Amerika yang dilakukan dalam skala besar selama sepuluh tahun. “Kekerasan dalam program televisi menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak dan remaja yang menonton program tersebut,” demikian simpulnya. Sedangkan Ron Solby dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat; kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain; ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.

Nonton untuk pelarian

Tapi, benarkah agresivitas anak-anak terjadi hanya karena tayangan kekerasan di layar kaca? “Pada dasarnya setiap manusia itu mempunyai sifat agresif sejak lahir,” ungkap Fawzia. Sifat ini berguna dalam bertahan hidup. Tanpa agresivitas, anak tidak akan bereaksi jika mendapat rangsangan yang mengancamnya. Tetapi, tanpa pengarahan yang baik, sifat itu bisa merusak.
Ada yang melihat, proses dari sekadar tontonan sampai menjadi perilaku perlu waktu yang cukup panjang. Namun, yang merepotkan bila tontonan kekerasan jadi suguhan sehari-hari, sehingga menjadi hal yang biasa, apalagi lingkungan sekitar juga mendukung.

Menurut psikolog dari Universitas Stanford, Albert Bandura, respons agresif bukan turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Ada permainan yang dapat memicu agresi. “Orang belajar tidak menyukai dan menyerang tipe individu tertentu melalui pengalaman atau pertemuan langsung yang tidak menyenangkan.”

Bayangkan, bila dalam sehari disuguhkan 127 adegan kekerasan, berapa yang akan diterima dalam seminggu, sebulan, atau setahun? Mungkinkah akhirnya si anak merasa, memang “tidak apa-apa” memukul dan menganiaya orang lain?

Hasil survai berikut bisa memberikan gambaran. Rata-rata orang Amerika menonton TV selama 25 â€" 30 jam per minggu. Dalam penelitian yang melibatkan 100.000 orang sebagai subjek disimpulkan, ada bukti kuat hubungan antara perilaku agresif dan melihat tayangan TV yang bermuatan kekerasan dalam waktu lama (ekstensif).

Banyak anak begitu betah menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV. “Menurut mereka, televisi adalah cara terbaik untuk menyingkirkan perasaan tertekan, atau untuk mencoba lari dari perasaan itu,” kata Mark I Singer, guru besar di Mandel School of Applied Social Sciences yang meneliti 2.244 anak sekolah yang berumur 8 â€" 14 tahun di Northeast Ohio, AS.

Malah menurut majalah TV Guide, sekitar 70% anak yang menonton TV menyatakan, nonton TV hanya sebagai pelarian. Hanya 1 dari 10 pemirsa yang mengatakan TV untuk olah intelektual.

Padahal, penelitian menunjukkan, menonton TV berjam-jam secara pasif justru meningkatkan level trauma kejiwaan. “Kegiatan nonton TV berjam-jam tidak menghilangkan rasa tertekan, tapi membuatnya makin parah,” tambah Singer.

Rupanya, ada hubungan antara pilihan program dengan tingkat kemarahan atau agresi. “Anak laki-laki atau perempuan yang memilih program TV dengan banyak aksi dan perkelahian â€" atau program kekerasan tinggi, memiliki nilai kemarahan yang tinggi dibandingkan anak lainnya. Mereka juga dilaporkan lebih banyak menyerang anak lain,” ujar Singer.

Yang menarik, ada hubungan nyata antara kebiasaan menonton TV dengan tingkatan pengawasan orang tua. Pengawasan itu berupa pengenalan orang tua akan teman-teman sang anak, di mana mereka berada sepanjang hari. Selain itu, apakah orang tua juga menetapkan dan menjalankan peraturan pembatasan waktu bermain di luar rumah atau nonton TV.

Anak yang tidak diawasi dengan ketat akan menonton TV lebih banyak dibandingkan anak-anak yang lain. Kelompok ini lebih banyak menonton program aksi dan perkelahian atau video musik. “Sebanyak 58% anak perempuan yang kurang diawasi, lebih memilih program TV berbau kekerasan atau video musik,” ungkap Singer.

Singer juga melaporkan, hampir separuh kelompok anak perempuan dengan tingkat kemarahan tinggi punya pikiran untuk bunuh diri. Sedangkan pada kelompok anak laki-laki tipe yang sama merasa takut akan ada orang yang membunuh mereka.

Apalagi menurut Aletha Huston, Ph.D. dari University of Kansas, “Anak-anak yang menonton kekerasan di TV lebih mudah dan lebih sering memukul teman-temannya, tak mematuhi aturan kelas, membiarkan tugasnya tidak selesai, dan lebih tidak sabar dibandingkan dengan anak yang tidak menonton kekerasan di TV.”

Toh tidak semua pihak setuju dengan pendapat bahwa kekerasan di TV berakibat langsung pada perilaku. Satu kajian oleh para ahli ilmu jiwa Inggris menyebutkan, tak ada kaitan langsung antara kekerasan di TV dengan perilaku anak.

Namun, ada syarat yang harus dipenuhi. “Tak ada yang lebih baik daripada keluarga yang hangat, sekolah yang bermutu, dan masyarakat yang peduli,” tutur ahli perilaku Tony Charlton, yang memimpin kajian itu. “Kalau tiga aspek itu terpenuhi, tak ada masalah dengan kekerasan yang ditonton.”

Film laga harus pula dilihat dari aspek positifnya, yaitu bahwa anak membutuhkan figur pahlawan, jagoan, dan heroisme. Di sinilah peran orang tua untuk mengajaknya menarik garis perbedaan antara dunia nyata dan film. Seperti yang dikatakan Madeline Levine, Ph.D., psikolog di Marin County, Kalifornia, “Pada umur sembilan tahun anak baru bisa membedakan antara kenyataan dan fantasi.”

Majalah Time (12-1-1998) juga memaparkan hasil sebaliknya. Selama tiga tahun peneliti Inggris, Tony Charlton, memantau perilaku 859 anak di pulau terpencil Saint Helena, Atlantik. Ia menemukan, tidak ada perubahan perilaku pada mereka yang menonton TV dari berbagai belahan dunia yang diterima melalui satelit. Tapi jangan-jangan, Charlton tidak memperhatikan populasi penduduk yang hanya 5.600 orang dan letaknya yang terpencil itu?

Orang tua contoh model anak

Dari berbagai kemungkinan masalah yang bisa timbul, tentu peran orang tua tidak bisa diabaikan. Sikap orang tua terhadap TV akan mempengaruhi perilaku anak. Maka sebaiknya orang tua lebih dulu membuat batasan pada dirinya sebelum menentukan batasan bagi anak-anaknya. Biasanya, di kala lelah atau bosan dengan kegiatan rumah, orang tua suka menonton TV. Tetapi kalau itu tidak dilakukan dengan rutin, artinya Anda bisa melakukan kegiatan lain kalau sedang jenuh, anak akan tahu ada banyak cara beraktivitas selain menonton TV.

Usahakan TV hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang penting, anak-anak perlu punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman dan mainannya, untuk membaca cerita dan istirahat, berjalan-jalan dan menikmati makan bersama keluarga. Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun bersama orang tuanya.

Hal penting kedua adalah mengikutsertakan anak dalam membuat batasan. Tetapkan apa, kapan, dan seberapa banyak acara TV yang ditonton. Tujuannya, agar anak menjadikan kegiatan menonton TV hanya sebagai pilihan, bukan kebiasaan. Ia menonton hanya bila perlu. Untuk itu video kaset bisa berguna, rekam acara yang Anda sukai lalu tonton kembali bersama-sama pada saat yang sudah ditentukan. Cara ini akan membatasi, karena anak hanya menyaksikan apa yang ada di rekaman itu.

Masalah jenis program yang ditonton sangat penting dipertimbangkan sebab itu menyangkut masalah kekerasan, adegan seks, dan bahasa kotor yang kerap muncul dalam suatu acara. Kadang ada acara yang bagus karena memberi pesan tertentu, tetapi di dalamnya ada bahasa yang kurang sopan, atau adegan â€" seperti pacaran, rayuan â€" yang kurang cocok untuk anak-anak. Maka sebaiknya orang tua tahu isi acara yang akan ditonton anak. Usia anak dan kedewasaan mereka harus jadi pertimbangan. Dalam hal seks, orang tua sebaiknya bisa memberi penjelasan sesuai usia, kalau ketika sedang menonton dengan anak-anak tiba-tiba nyelonong adegan “saru“.

Masalah bahasa pun perlu diperhatikan agar anak tahu mengapa suatu kata kurang sopan untuk ditiru. Orang tua bisa menjelaskannya sebagai ungkapan untuk keadaan khusus, terutama di TV untuk mencapai efek tertentu.


 

Ciri-ciri akibat efek-efek kekerasan bila kita menonton televisi, yaitu:

  1. Detak denyut jantung yang meningkat;
  2. Adanya pengaktifan premotor cortex seperti ingin meniru gerakan tinju;
  3. Akan selalu diikuti oleh emosional pelakunya karena akan
    selalu disimpan dalam memori otak jangka panjang.

Bila kita perhatikan bahwa kita sesungguhnya adalah suatu pusat pemikiran otak. Informasi apa yang masuk ke otak kita, itulah yang akan membentuk diri kita sendiri. Anda tinggal memilih informasi apa yang akan Anda serap pada otak Anda. Seperti makanan, makanan apa yang akan Anda makan, maka itu akan membentuk tubuh Anda begitu pula dengan otak pemikiran kita.

Pada anak-anak usia di bawah sepuluh tahun, saat itulah 95% otak mereka terbentuk. Bila kita salah memberi informasi pada perkembangannya, maka akan fatal di kemudian hari.

Media televisi harus memperhatikan dampak setiap program yang mereka siarkan karena siaran televisi itu seperti tamu yang tidak diundang, mereka bebas keluar masuk ke dalam setiap rumah kita. Yang terpenting adalah relevansinya untuk masyarakat, apa yang mau ditonton oleh masyarakat itu berguna dan mendidik. Jangan media televisi itu mengejar rating dan iklan semata. Bisnis adalah bisnis tetapi kualitas masa depan bangsa dan negara ini terletak pada Anda. Ssalah informasi yang diterima, akan membuat fatal dan akan menghancurkan suatu bangsa.

Beberapa jam sudah cukup

Kapan dan berapa lama anak boleh menonton TV, semua itu tergantung pada cara sebuah keluarga menghabiskan waktu mereka bersama. Bisa saja di waktu santai sehabis makan malam bersama, atau justru sore hari.

Anak yang sudah bersekolah harus dibatasi, misalnya hanya boleh menonton setelah mengerjakan semua PR. Berapa jam? Menurut Jane Murphy dan Karen Tucker â€" produser acara TV anak-anak dan penulis â€" sebaiknya tidak lebih dari dua jam sehari, itu termasuk main komputer dan video game. Untuk anak yang belum bersekolah atau sering ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya mungkin bisa sedikit lebih banyak.

Memberikan batasan apa, kapan, dan seberapa banyak menonton acara TV juga akan mengajarkan pada anak bahwa mereka harus memilih (acara yang paling digemari), menghargai waktu dan pilihan, serta menjaga keseimbangan kebutuhan mereka.

Agar sasaran tercapai, disiplin dan pengawasan orang tua mutlak diperlukan. Sayangnya, unsur pengawasan ini yang sering jadi titik lemah orang tua yang sibuk dengan pekerjaan sehari-hari di kantor. “Untuk itu, orang tua memang dituntut untuk cerewet. Tidak apa-apa agak cerewet, demi kebaikan anak-anak,” ujar Fawzia.

Kekerasan memang sulit dipisahkan dari industri hiburan. Sama sulitnya jika harus mencari siapa yang harus disalahkan terhadap masuknya tayangan kekerasan dalam industri hiburan. Kita akan terjebak dalam lingkaran setan antara produser, pengelola TV, sutradara, pengiklan, maupun penonton sendiri. Sementara menangkap setannya lebih sulit, tindakan yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan pengaruh tersebut, khususnya terhadap anak-anak. Kuncinya, mulai dari lingkungan keluarga.

Dampak negatif

Kekerasan personal, misalnya, adegan kekerasan yang tampak secara langsung seperti adegan memukul, menghina, membentak, dan pelecehan seksual. Kekerasan struktural meliputi dominasi tokoh laki-laki terhadap perempuan, yaitu bagaimana perempuan menjalankan peran-peran domestik dan laki-laki di luar rumah.

Tayangan-tayangan itu memberi dampak negatif bagi perkembangan anak. Apalagi, televisi sangat efektif sebagai sarana untuk menransmisikan nilai-nilai tertentu, dan anak-anak menonton televisi rata-rata 35 jam dalam seminggu. Untuk itu, peran-peran lembaga kontrol seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), harus diperkuat. KPI harus memperluas definisi kekerasan sama seperti definisi kekerasan dalam Komisi Nasional HAM atau Komnas Perempuan. Lembaga Sensor Film juga harus memperluas sensor tidak hanya film yang mengandung isu suku, agama, dan ras (SARA), tetapi juga yang mengandung kekerasan.

KORAN ANAK INDONESIA, Yudhasmara Publisher

Jl Taman Bendungan Asahan 5 Jakarta PusatPhone : (021) 70081995 â€" 5703646

email : judarwanto@gmail.com

http://korananakindonesia.wordpress.com/

 

 

 

 

Copyright © 2010, Koran Anak Indonesia  Network  Information Education Network. All rights reserved

0 komentar:

Posting Komentar