Mengapa terjadi agresivitas di dalam kelas? Mengapa guru yang seharusnya menjadi pendidik malah
melakukan agresivitas pada anak didiknya? Fenomena apa yang sedang terjadi?
Guru yang seharusnya “di gugu dan di tiru” dan memberikan pendidikan serta pengajaran demi tumbuh kembang anak, malah melakukan tindakan agresivitas non verbal maupun verbal. sebelum melengkah lebih jauh berikut ini ada dua pengertian agresivitas, menurut Baron & Byrne : agresivitas adalah perilaku yang diarahkan kepada tujuan menyakiti mahluk hidup lainya yang ingin menghindari perlakuan semacam itu,sedangkan menurut Myers : Agresivitas adalah Perilaku baik secara fisik maupun verbal yang bertujuan untuk menyakiti seseorang.Lalu apa alasan mendasar yang melatarbealakangi tindakan guru – guru tersebut? Apa yang sebenarnya ada dibenak mereka, ketika mereka menampar, menjewer, dan bahkan menendang anak didiknya. Tidakkah mereka ingat bahwa anak – anak tersebut dititipkan pada mereka untuk diajarkan budi pekerti dan pelajaran hidup, bukan malah dihajar dan dibabak belurkan? Guru sebenarnya juga merupakan orang tua bagi anak – anak. Yaitu orang tua yang mendidik dan mengasah intelektual generasi muda tersebut. Dengan bimbingan guru, anak – anak diarahkan untuk menggantung cita – cita setinggi langit. Berkat bekal ilmu dari guru, seorang anak mampu melukis harapan hidupnya. Namun sungguh tidak etis apabila ‘orang tua di sekolah’ bertindak semena – mena terhadap anak ajarnya.Sungguhpun anak didiknya tersebut nakalnya sangat kelewat batas, namun tetap saja tindak kekerasan sangatlah tidak dibenarkan. Bukankah masih banyak cara lain yang lebih baik untuk memberikan efek jera pada anak,agar anak itu tidak nakal lagi? Misalnya dengan memberikan tugas tambahan. Apabila hal itu belum efektif maka sang guru bisa bekerjasama dengan BK Sekolah, untuk memberikan konseling pada sang anak. Orang tua sang anak juga bisa diikutsertakan dalam rangka memberikan pengarahan pada sang anak.
Ibarat kata, ‘banyak jalan menuju roma’ untuk mendidik anak, agar bisa disiplin dan mematuhi aturan.
Jangan jadikan tindak kekerasan (agresivitas) sebagai metode dalam proses pendisiplinan itu. Mungkin tindakan agak keras bisa dilakukan, namun dengan porsi dan cara yang sesuai. Maksud saya disini, bukan kekerasan fisik, namun bisa dengan cara memberi hukuman lari di lapangan sekolah, melakukan aktivitas olahraga ringan seperti push up, atau skot jump.
Sekali lagi, tindakan kekerasan pada anak didik dengan tujuan memberi punishment atau apapun,tidaklah dibenarkan dalam lembaga pendidikan. Karena berdampak besar baik secara fisik maupun psikologisnya. Secara fisik sudahlah jelas, anak akan babak belur dan badannya luka. Namun dampak terbesar yang akan timbul adalah pada sisi psikologis anak tersebut, dia bisa trauma dan kemungkinan paling parahnya adalah anak tersebut akan mengalami fobia sekolah, yaitu kecemasan yang berlebihan berhubungan dengan kegiatan sekolah.
Lalu apa yang akan terjadi bila anak Indonesia mengalami Fobia sekolah? Mau jadi apa generasi muda kita? Hendaknya para guru berinstrospeksi diri dan berpikir berulang – ulang sebelum menentukan tindakan untuk menghukum anak didik yang ‘bandel’ ,jangan sampai tindakan itu merugikan anak dan merugikan guru itu sendiri. Karena sudah ada pemberitaan yang menyebutkan bahwa guru yang melakukan tindakan kekerasan dibebas tugaskan. Selain itu orang tua harus proaktif dalam mengasuh anaknya. Pendidikan di rumah tidak kalah penting dibandingkan pendidikan disekolah. Jika pendidikan di sekolah lebih pada aspek kognitif dan psikomotor maka dirumah, anak – anak harus dibekali dengan pendidikan moral dan etika hidup.
0 komentar:
Posting Komentar