Kerja di rumah
Home » » Bebaskan Anak dari Jerat Sihir Kotak Ajaib « Pelosok Desa

Bebaskan Anak dari Jerat Sihir Kotak Ajaib « Pelosok Desa

Anak adalah makhluk peniru paling jenius. Sebagian besar perilakunya merupakan hasil dari proses peniruan, tak terkecuali saat anak menonton televisi. Anak cenderung menganggap apa yang ditayangkan televisi sebagai sesuatu yang benar, terlebih belakangan ini banyak tayangan yang bersifat abu-abu seperti reality show. Penonton dewasa pun kesulitan menjelaskan mana yang fiktif dan mana yang nyata.

Untuk menjelaskan dampak dari ‘sihir’ televisi, para peneliti media biasanya menggunakan pendekatan perilaku (behaviorism). Pendekatan perilaku mengandaikan tindakan dan cara berpikir seseorang dipengaruhi oleh proses interaksi individu dengan lingkungannya. Sikap dan pola perilaku dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan lingkungan. Untuk konteks televisi, anak-anak di Indonesia memiliki kemampuan dan waktu akses yang besar menonton televisi dibanding aktivitas-aktivitas lainnya. Anak-anak bisa menonton televisi kapan saja dan di mana saja sehingga pembiasaan dan pengukuhan perilaku anak dapat dibentuk melalui tayangan televisi.

Beberapa waktu silam, seorang kawan terheran-heran dengan perbuatan anak sulungnya yang baru berumur empat tahun masuk ke lemari es. Rupanya, si anak meniru adegan sebuah iklan permen yang memperagakan seorang gadis muda yang masuk ke lemari es karena merasa panas. Alih-alih membeli permen, si anak justru nyaris beku di lemari es. Kisah itu membuktikan televisi memiliki kekuatan ‘sihir’ sehingga pemirsanya bisa bertindak sesuai dengan kemauan televisi.

Sejauhmana dampak tayangan televisi terhadap terhadap perilaku masyarakat, khususnya anak-anak? Bagaimanakah siasat warga menangkal sihir televisi? Adakah mantra yang mampu menangkal kekuatan buruk si kotak ajaib?Tulisan ini mengupas kegiatan Literasi Televisi di Dusun II Gatak, Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul yang dilakukan selama enam–awal November hingga pertengahan Desember 2009â€"yang dilakukan oleh Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta.

Perempuan, Sang Penggerak

Sebutan Dusun II Gatak baru lahir pada era 1980an. Akibat pembangunan jalan cincin atau populer dengan nama Ring Road di bagian barat Jogjakarta maka Dusun Gatak terbagi menjadi dua. Dusun I Gatak di sebelah barat jalan dan Dusun II Gatak berada di sebelah timur jalan. Daerah ini masuk wilayah Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan. Secara teritorial Dusun II Gatak masuk dalam wilayah Kabupaten Bantul, namun akibat posisi spasial Gatak yang lebih dekat ke Kota Jogjakarta maka mobilitas warga lebih dekat ke wilayah kota.

Secara sosiologis, aktivitas warga laki-laki dan perempuan cenderung terpisah. Kelompok warga laki-laki cenderung membahas persoalan pembangunan sarana dan prasarana, ekonomi produktif, olahraga, dan keamanan. Sementara itu, kelompok warga perempuan membahas peran-peran domestik dan pengasuhan anak, seperti pengelolaan rumah tangga, pendidikan anak, posyandu, kesehatan balita, dan lainnya. Jadi, Dusun II masih mengenal pembagian kegiatan sosial kemasyarakatan berdasarkan jenis kelamin.

Kegiatan literasi televisi yang diinisiasi MPM Yogyakarta bertujuan untuk mengurangi dampak buruk tayangan televisi terhadap anak. MPM memilih warga perempuan yang tengah mengasuh anak sebagai kelompok sasaran program. Alasannya, perempuan berperan besar dalam kerja pengasuhan anak dan rumah tangga sehingga pemahaman perempuan atas mutu tayangan televisi akan berpengaruh terhadap pola asuh yang akan mereka terapkan pada anak-anaknya.

Sebelum program dilaksanakan, tim melakukan survei dan membangun kerjasama dengan kelompok perempuan di tingkat pedukuhan. Lewat survei, tim bisa mendapatkan data kelompok perempuan di tingkat dasawisma, termasuk data warga yang memiliki anak berusia 3-12 tahun. Berbekal data tersebut, tim memilih 20 perempuan yang akan terlibat dalam program ini.

Seluruh pertemuan yang diselenggarakan dalam program literasi televisi berlangsung di Serambi Masjid Mihtahul Jannah. Masjid ini dibangun di tengah permukiman warga, dengan beberapa fasilitas tambahan yang dimanfaatkan sebagai tempat pertemuan warga. Di bagian depan, ada beberapa mainan anak seperti tangga bola dunia, papan seluncur, dan ayunan. Setiap sore, halaman masjid dipenuhi anak-anak sebagai arena permainan.

Awalnya, pilihan lokasi ini cukup dilematis. Bagaimanapun, masjid merupakan tempat ibadah bagi umat agama Islam. Sementara itu, kegiatan literasi televisi melibatkan pelbagai elemen warga yang tak hanya beragama Islam. Pilihan di atas memberikan pelajaran berharga bagi seluruh anggota tim sebab pemanfaatan masjid di Dusun II Gatak tak sekadar sebagai tempat ibadah, tapi ruang publik bagi seluruh warga juga. Sebagian besar peserta tidak menggunakan jilbab selama pelatihan sehingga menandakan warga Dusun II Gatak sangat terbuka dalam urusan keagamaan dan sosial kemasyarakatan.

Beda Selera, Satu Televisi

Sebagian besar peserta hanya memiliki satu pesawat televisi di rumahnya. Di Dusun II Gatak, hampir seluruh tayangan televisi tak berbayar dapat diakses, baik dikelola lembaga televisi nasional (Indosiar, RCTI, SCTV, GlobalTV, Trans7, TransTV, TVOne, MetroTV) maupun daerah (JogjaTV, RBTV, dan TATV). Lewat pesawat televisi yang sama, ada 3-7 orang di setiap keluarga siap memangsa menu tontonannya. Sementara itu, seluruh televisi memiliki acara unggulan pada jam tayang yang sama, biasanya pukul 19.00-21.00, sehingga dianggap sebagai jam tayang utama (prime time). Oleh karena itu, salah satu aktivitas literasi televisi adalah menggali pengalaman perempuan dalam menonton televisi. Bagaimanakah cara perempuan menyeleksi tayangan, bernegosiasi, dan membangun kompromi dengan anggota keluarga lainnya?

Ibu Supoyo (65)1 suka menonton acara reality show, seperti Jika Aku Menjadi di TransTV. Ia menyukai acara ini sebab tayangan ini membuat dirinya bisa larut dalam cerita, kadang merasa sedih, trenyuh, bahagia, geram. Bagi Ibu Supoyo yang telah berusia lebih dari setengah baya dan hidup dengan ekonomi pas-pasan, acara ini memberikan ruang katarsis atas segala permasalahan hidup yang dihadapi. Ia merasa memperoleh kekuatan hidup kembali setelah menonton acara ini.

Sementara itu, Ibu Slamet (57) memilih pasif. Ia menonton televisi menyesuaikan selera suaminya dan anaknya. Penentu keputusan ada di suami dan anaknya. Awalnya, dia sering mengeluh dengan jenis tayangan pilihan suaminya, lama kelamaan dia mampu menyesuaikan diri. Baginya, menonton TV hanyalah ativitas sambilan sembari mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan bercengkarama dengan anggota keluarga lainnya. Televisi sering kali berfungsi sebagai latar pembicaraan keluarga.

Waliyem (33) dan Yumiani (27) mengaku terpaksa menyukai tayangan kartun sebab tayangan ini menjadi materi tontonan anaknya sembari sarapan. Waliyem menonton tayangan kartun hampir setiap hari sejak anaknya berumur lima tahun hingga delapan tahun. Awalnya, anaknya tidak mau sarapan bila tidak menonton kartun Spongebob. Kondisi Yumiani tak jauh beda dengan Waliyem. Waktu menonton televisi baginya tidak dapat dipastikan, bila ada waktu kosong ia menekan tombol remote control. Keduanya membatasi waktu menonton hingga pukul 21.00 agar anaknya cepat tidur.

Ibu Pranoto (48) suka menonton acara berita karena menyesuaikan diri dengan anak-anaknya yang mulai besar. Tapi, saat anak dan suaminya pergi, ia memilih acara-acara yang bernuansa curahan hati dan gosip. Ia mengaku suka menonton tayangan anak-anak, seperti Si Bolang, Laptop Si Unyil, dan beberapa tayangan kartun lainnya.

Dari penjelasan di atas, penulis menemukan tiga perilaku perempuan dalam menonton televisi. Pertama, aktivitas menononton televisi tidak bisa semata-mata dilihat hanya dari dimensi program, yaitu pilihan selera penonton terhadap jenis-jenis tayangan kesukaan. Bagi perempuan, untuk memutuskan jenis program televisi favoritnya mungkin mudah, kemampuan mereka untuk menentukan program yang sering ditonton masih rendah.

Kedua, sebagian besar peserta mengaku saat menonton televisi, mereka juga melakukan beberapa jenis kegiatan lainnya, seperti makan, mengerjakan tugas-tugas, memasak, membersihkan rumah atau perabot, bermain, menanta barang-barang, dan mengasuh anak. Bahkan, beberapa kegiatan terlihat kontradiksi dengan kegiatan menonton televisi seperti membaca buku, mendengarkan radio atau kaset, mengerjakan PR, bahkan tidur. Jadi, menonton televisi bukanlah kegiatan yang soliter, menyendiri, dan terpisah dari kegiatan-kegiatan lainnya. Menonton televisi merupakan aktivitas yang terkait dengan tanggung jawab dan tugas-tugas rutin pengelolaan rumah tangga.

Ketiga, meskipun aktivitas menonton televisi tidak disertai sikap selektif, seleksi jenis tontonan tetap ada. Mekanisme seleksi tidak didasarkan atas faktor selera, melainkan program tayangan telah lebih dulu dipilihkan oleh orang lain. Akibatnya, antaranggota keluarga sering berselisih untuk memperebutkan remote control. Jadi, menonton televisi pun merupakan kegiatan yang melibatkan relasi sosial, berhubungan dengan hubungan-hubungan kekuasaan tertentu yang menyangkut perbedaan status, usia, dan peran gender.

Tayangan Baik Belum Tentu Ditonton

Apakah tayangan yang baik pasti mendapat tempat di hati penonton? Pertanyaan ini berfungsi untuk melihat perilaku menonton para perempuan pengelola rumah tangga disertai dengan kemampuan selektif. Caranya, fasilitator menetapkan tiga kriteria tayangan televisi, yaitu (1) tayangan yang baik, (2) tayangan yang buruk, dan (3) tayangan yang sering ditonton. Lalu, ia mengajak peserta untuk mendaftar tayangan yang pernah ditonton di pelbagai stasiun televisi tak berbayar. Setiap peserta menuliskan nama acara dalam kartu meta (metacard).

Kartu meta yang dipersiapkan ada tiga jenis, kartu warna merah untuk tayangan yang buruk, kartu warna hijau untuk tayangan yang baik, dan kartu warna jingga untuk tayangan yang paling sering ditonton. Sebelumnya, fasilitator telah menjelaskan cara menulis di kartu-­kartu tersebut. Lalu, seluruh kartu ditempel di dinding berdasarkan warnanya untuk memudahkan kegiatan analisis.

Pada sesi ini, banyak peserta sulit membedakan antara nama tokoh dengan nama program. Misalnya, peserta menulis nama Tukul dibanding nama programnya, Bukan Empat Mata. Ada juga yang menyebut nama acara dengan nama pembawa acara, seperti Kick Andy dikira nama dari Andy F Noya. Meskipun, ada salah ucap nama program dan aktor, sebagian besar peserta mampu menjelaskan apa isi tayangan yang disebutkan saat diperiksa ulang oleh fasilitator.

Para perempuan pengelola rumah tangga menilai Serial Si Bolang (Trans 7), Jalan Sesama (Trans 7), Pangkur Jenggleng (TVRI Yogyakarta), Berita (Seluruh TV), dan Jejak Petualang (Trans 7) sebagai tayangan yang baik. Sebagian besar tayangan hiburan masuk dalam kelompok tayangan buruk, seperti gosip, berita kriminal, Issabela, The Master, film luar negeri, dan sinema eletronik (sinetron).

Anehnya, pada kartu jingga atau tayangan yang sering ditonton justru didominasi oleh tayangan yang ada di kartu merah atau tayangan buruk, seperti Suami­-suami Takut Istri, Melati untuk Marvel, Opera van Java, Termehek­-mehek, Gong Show, dan lain-­lain. Jadi, tayangan yang baik belum tentu mendapatkan tempat di hati pemirsanya. Tayangan yang baik harus dikemas menjadi tontonan yang menarik dan tidak membosankan. Serial Si Bolang dianggap menjadi contoh yang tepat untuk tayangan yang mendidik dan menarik.

Mencegah Penularan Kekerasan Televisi

Peserta diajak untuk membuat kriteria tayangan yang cenderung mengajarkan kekerasan. Seluruh kriteria yang diajukan peserta selanjutnya dikelompokan dalam dua kategori, yaitu kekerasan fisik dan kekerasan verbal. Bentuk perbuatan yang masuk dalam kekerasan fisik adalah mencubit, mendorong, menendang, dan memukul. Sedangkan kekerasan verbal ditandai dengan aktivitas mengomel, mengumpat, galak, berbohong, dan menyekap.

Lalu, fasilitator memutar satu seri dalam serial sinema elektronik. Peserta diminta menghitung jumlah adegan yang cenderung mengarah pada kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal. Dalam satu seri, peserta menemukan adegan kekerasan berjumlah 5-8 adegan. Adegan kekerasan fisik yang ditemukan, misalnya mendorong, mencubit. Sedangkan adegan kekerasan verbal, misalnya menyebutkan kata-kata tuli, bodoh, sukurin, dan sebagainya.

Setelah mengidentifikasi adegan kekerasan, fasilitator memandu peserta untuk bertukar pengalaman saat menonton televisi. Meraka diajak untuk merekomendasaikan nama acara yang cenderung mengajarkan kekerasan beserta alasannya. Peserta merekomendasikan beberapa acara yang sebaiknya tidak ditonton, seperti Opera Van Java, Sinchan, dan Tom and Jerry. Peserta mengkritik gaya lawak yang diperagakan dalam komedi Opera Van Java banyak berisi ejekan, makian, dan pertunjukan kekerasan diperagakan meskipun menggunakan properti yang lunak, seperti steroform. Menjadikan ejekan dan kekerasan menjadi bahan lawak jelas mengaburkan makna kekerasan itu sendiri sebagai perbuatan yang harus dijauhi.

Kartun Sinchan dan Tom and Jerry. Pada kartun Sinchan, terdapat ketidaksesuaian perilaku tokoh dengan umur yang ia sandang. Menurut mereka tidak masuk akal anak berusia 5 tahun berani menggoda wanita-wanita cantik. Serial Sinchan lebih tepat sebagai ditonton orang dewasa sebab alur cerita skenario mencerminkan cara pikir orang dewasa. Pada Tom and Jerry, adegan kekerasan diperagakan secara ekstrem, sadis, ironisnya perbuatan itu justru dikesankan sebagai tindakan yang mengundang tawa.

Kesimpulan

Tak dipungkiri, sebagian warga menjadikan televisi teman dekat mereka. Meskipun tidak menjadi hal yang dominan, sebagian besar waktu mereka dijalani bersama televisi. Aktivitas literasi televisi tidak bermaksud mengajak warga memusuhi televisi, tapi menyeleksi suguhan di layar televisi agar tidak menjadi alat sosialisasi kekerasan dalam rumah tangga, mistik, dan tampilan kemewahan yang manipulatif.

Literasi televisi mengajak penonton televisi untuk mencermati kembali kebiasaan diri mereka dan anak-anaknya saat menonton televisi. Bimbingan orangtua penting dilakukan saat anak menonton televisi. Ironisnya, banyak orangtua yang bersikap ambigu, di satu sisi mereka memprotes tayangan televisi yang berdampak buruk pada anak. Di sisi lainnya, banyak di antara mereka yang justru maniak menonton program tersebut.

Literasi televisi dengan sasaran orang dewasa perlu dikembangkan sebab masih banyak orang tua yang belum melek televisi. Jangan sampai orang buta menuntun orang buta. Kadangkala, orang dewasa lebih rawan mendapat pengaruh negatif dari televisi.  Di sinilah perlu adanya keseimbangan antara keluarga (orang tua) dan pihak stasiun televisi. Keluarga dituntut untuk melakukan pendampingan pada anaknya saat menonton televisi, sedang pengelola televisi semestinya punya tanggung jawab moral terhadap acara-acara yang ditayangkannya. [::]

Biodata Penulis
Yossy Suparyo bekerja sebagai Staf Manajemen Pengetahuan di Combine Resource Institution (CRI) Yogyakarta. Menjabat sebagai Koordinator Program Pusat Sumber Daya Media Komunitas dan penyunting di portal suarakomunitas[dot]net dan Majalah Bulanan Kombinasi. Studi di Jurusan Ilmu informasi dan Perpustakaan Universitas Islam Negeri Jogjakarta (2002) dan Jurusan Teknik Mesin Universitas Negeri Jogjakarta (1997). Aktif dalam gerakan Open Source dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi untuk pemberdayaan masyarakat pedesaan. Aktif terlibat dalam tim penyusunan modul, fasilitator, dan penelitian untuk program literasi televisi.

0 komentar:

Posting Komentar