Kerja di rumah
Home » » Meraih Senyum Ibu « Tuti Nonka's Veranda

Meraih Senyum Ibu « Tuti Nonka's Veranda

KELAHIRAN, JANGANLAH MENJADI KEMATIAN

Dari manakah kita dilahirkan? Tentu saja dari rahim ibu. Cerita bahwa bayi dibawa oleh burung bangau, atau keluar dari kuping, itu hanyalah cerita orang dewasa yang kebingungan menjelaskan proses kehamilan dan persalinan, ketika anaknya yang masih kecil bertanya “Dari mana adik berasal, Ma?”

Dulu, persalinan adalah peristiwa kritis, sehingga dikatakan bahwa ibu yang melahirkan harus berjuang dengan mempertaruhkan nyawanya. Di Jawa, seorang ibu yang meninggal ketika melahirkan disebut ‘kunduran’. Maksudnya (mungkin) kelahiran bayi itu membuat ia kundur (berpulang). Meskipun demikian, banyak juga ibu yang melahirkan sampai belasan kali (teman saya mempunyai saudara kandung 13 orang, sumpe!) dan semuanya berjalan lancar seperti mobil keluar dari gerbang tol …


Bayi yang baru lahir tentu diharapkan dalam kondisi sehat, begitu pula sang ibu (foto : Wikipedia)

Siapa yang tak mendambakan kebahagiaan seperti ini? Ibu dan bayi yang sehat, kamar bayi yang indah … (foto : “Menanti Kelahiran”, seri majalah Ayah Bunda)

Sekarang, di abad ke-21 ini, apakah masih ada ibu yang meninggal ketika melahirkan? Kita, yang tinggal di kota (mungkin bahkan di cluster elit perumahan mewah), yang tidak cukup hanya hidup di dunia nyata sehingga merambah dunia maya juga, mungkin tak pernah melihat dengan mata kepala sendiri peristiwa kematian seorang ibu ketika melahirkan bayinya. Tetapi di pelosok-pelosok nun jauh dari kota, yang untuk mencapai puskesmas, bidan, atau dukun bayi memerlukan perjalanan berjam-jam jalan kaki menembus hutan, nyawa ibu benar-benar dipertaruhkan ketika berjuang melahirkan bayinya. Bahkan di tengah masyarakat kota, kemiskinan yang parah membuat warga tak sanggup menjangkau pelayanan medis yang tak bisa diperoleh dengan gratis.

Saat ini, angka kematian ibu melahirkan (AKI) adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka AKI Indonesia ini tertinggi dibandingkan negara-negara tetangga kita di ASEAN. Laporan Bank Pembangunan Asia 2009 mencatat angka kematian 405 atau rata-rata 2,3 perempuan meninggal setiap satu jam (catat : bukan per hari) karena melahirkan. Angka yang mungkin tak pernah kita bayangkan!

228 dari 100.000? Itu kan kecil, hanya 0,228% saja, mungkin ada di antara kita yang berpikir naif demikian. Angka ini harus kita cermati lebih jauh, yaitu 228 kematian per 100.000 kelahiran hidup, bukan per 100.000 orang. Jika setiap ibu rata-rata melahirkan 4 anak, maka perbandingannya adalah 228 kematian per 25.000 orang.

Kematian tidak relevan dihubungkan dengan persentase. Satu kematian tetap satu kematian : berakhirnya sebuah kehidupan manusia. Satu kematianpun tak boleh terjadi jika itu disebabkan oleh kelalaian dan kurangnya kepedulian kita.

Mengapa angka kematian ibu melahirkan di Indonesia sangat tinggi?

Banyak faktor yang mempengaruhi, salah satunya adalah budaya dan tatanan sosial masyarakat. Menurut Sri Kusyuniati, Kepala Perwakilan Indonesia Yayasan Kependudukan Dunia (WPF), kematian ibu melahirkan antara lain disebabkan oleh pengambilan keputusan yang terlambat. Di banyak kalangan masyarakat tradisional, keputusan untuk membawa istri ke rumah sakit berada di tangan suami. Ketika istri akan melahirkan dan suami tak berada di rumah, padahal ia mengalami komplikasi, keputusan untuk membawa ke rumah sakit tak bisa segera dibuat. Terlambatnya pengambilan keputusan ini seringkali menyebabkan nyawa ibu tak tertolong.

Kemiskinan dan kurangnya perhatian pada saat seorang perempuan hamil menyebabkan kesehatannya buruk, dan mengakibatkan komplikasi pada saat menjalani persalinan. Dalam sebuah keluarga miskin, adalah biasa jika makanan terbaik diberikan kepada ayah, sesudah itu anak-anak, dan ibu makan terakhir (jika masih ada yang tersisa). Padahal seorang ibu dalam keluarga miskin bekerja sangat keras karena ia tidak mampu menggaji pembantu rumah tangga, bahkan tidak jarang ia juga harus ikut mencari nafkah.


Bidan desa seperti Ros ini memiliki peran penting dalam peningkatan kesehatan reproduksi perempuan dan kesehatan anak (foto : Kompas/Agus Susanto)

Setelah masa reformasi, perhatian pemerintah terhadap program Keluarga Berencana jauh menurun jika dibandingkan pada zaman Orde Baru. Menurut Prof. Dr. Ascobat Gani MPh, Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, jumlah penyuluh lapangan KB yang sebelum reformasi ada 35.000 orang sempat merosot tinggal 19.000 orang karena dipindah ke dinas-dinas lain. Sekarang jumlahnya naik lagi menjadi 22.000-an orang, tetapi kita butuh 35.000 – 40.000 orang.

Kebijakan otonomi daerah juga menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya perhatian pada kesehatan reproduksi. Ketersediaan bidan, terutama di desa terpencil, pengadaannya tergantung pada inisiatif Pemda, termasuk DPRD. Di daerah yang mengadakan pilkada, dapat dipastikan anggarannya akan terserap untuk penyelenggaraan pilkada. Sementara itu pengeluaran rutin belanja pegawai menghabiskan 60 -70 persen anggaran. Dengan demikian sangat sedikit anggaran yang bisa dialokasikan untuk pelayanan kesehatan masyarakat miskin, khususnya kesehatan reproduksi.

Permasalahan lain adalah ketersediaan jumlah bidan yang jauh dari kebutuhan. Menurut data IBI (Ikatan Bidan Indonesia), saat ini tercatat 135.000 bidan dari kebutuhan sebanyak 235.000 (dengan asumsi rasio 1 bidan untuk 1000 penduduk). Apalagi pada saat ini ada syarat pendidikan bidan harus setara dengan D3.


Simulasi praktik persalinan oleh mahasiswi Akademi Kebidanan YPSDMI Garut (foto : Kompas/Arum Tresnaningtyas)

Adrienne Germain dari Koalisi Kesehatan Perempuan Internasional (IWHC) menegaskan keterkaitan antara kesehatan ibu dan pencapaian seluruh target Tujuan Pembangunan Milenium / Millenium Development Goals (MGDs). Target nomor 5 MDGs adalah mengurangi AKI sampai 75% dari rasio tahun 1990 dan mencapai akses universal pada kesehatan reproduksi pada tahun 2015. Artinya, AKI dan kesehatan ibu adalah indikator penting pembangunan. AKI yang tinggi membuat Indonesia berada di bawah peringkat negara-negara Asia lain dalam Laporan Pembangunan Manusia sampai tahun 2008.

Kelahiran bayi, anggota keluarga baru yang mungil, lucu, dan sehat, tentu akan menjadi sumber kebahagiaan bagi seluruh anggota keluarga. Ibu, yang harus menjalani kehamilan selama sembilan bulan, dan kemudian melahirkan sang bayi, tentu harus dijaga kesehatannya dengan baik. Bagi kalangan mampu, pemeriksaan kesehatan bisa dilakukan di klinik-klinik dan rumah sakit besar dengan pelayanan prima. Tetapi di sebagian besar wilayah Indonesia, puskesmas dan bidan desa adalah ujung tombak dalam pelayanan kepada masyarakat. Di manapun ibu memeriksakan diri, yang terpenting adalah bahwa kesehatannya harus terjaga dengan baik, sehingga persalinan menjadi peristiwa besar yang membahagiakan.


Ibu sehat dan bahagia, anak sejahtera dan terjaga (waduh, numpang iklan … )

Maka, jika dikatakan bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu, janganlah para bapak iri. Sebab yang mengandung sembilan bulan dengan segala kerepotannya, yang melahirkan dengan mempertaruhkan jiwanya, yang memberikan air susu untuk kehidupan sang bayi, adalah ibu. Nah, jika para bapak ingin memiliki surga juga, dekat-dekatlah dan muliakanlah ibunda, dan juga ibunya anak-anak. Belailah kaki mereka dengan penuh cinta, karena di sana ada surga (tapi jangan lupa minta mereka copot sepatu dan cuci kaki dulu … hihi)

Gampang toh?



(Sumber data : Kompas 23 April 2010)

0 komentar:

Posting Komentar